BUKAN MIMPI
Aku membuka mataku, terbelalak, tiba-tiba. Saking spontannya, kurasa, bila ada yang tengah mengamati wajahku yang tertidur pulas tadi, pasti juga akan kaget bukan main. Seperti mayat yang tiba-tiba matanya terbuka, dan sukses bikin para pelayatnya lari pontang-panting ke sana ke mari. Jangan nanya! Aku juga kaget kenapa bisa bangun dengan cara seperti itu. Tumben-tumbennya. Mungkin karena ini pagi pertama aku bangun di kamar yang bukan biasa kutiduri.
Aku membuka selimutku. Merenggangkan tubuhku. Bangun, dan berjalan ke arah jendela teras. Kubuka kaca jendelanya, dan beranjak ke beranda. Menghirup udara pagi, yang, aaahhh..... Segar sekali. "Welcome to our new life, new home...", bisikku pelan. Yah, abaikan gayaku yang drama abis ini. Percayalah, lama kelamaan kalian akan terbiasa.
Puas menghirup udara segar pagi hari dan menikmati pemandangan danau di depan rumah kami ini, aku memutuskan untuk turun ke ruang makan. Dan tepat saat itu, aku mendengar panggilan dari bawah sana. Suara mama, memanggilku untuk ikut sarapan bersama. Aku menatap bayanganku di depan cermin rias besar yang terletak di dekat pintu kamar sebelum aku keluar. Alam bawah sadarku menggerakkan tanganku untuk merapikan penampilanku. Hmm, jangan sampai terlihat jelek oleh si do'i.
Setelah memastikan tiap helai rambutku berada pada tempatnya, iler di sudut mulutku sudah bersih tak bersisa, belek di mata juga sudah dibersihkan seadanya, aku bergegas turun. Errr, tunggu... Tiba-tiba aku tersadar. Apa tidak lebih baik aku cuci muka atau mandi dulu??
Aha, kesadaran yang telat kehadirannya, karena do'i yang dimaksud sudah muncul TEPAT di hadapanku. Sial, rutukku dalam hati. Gagal tampaknya menampilkan first impression yang baik. "Pagi" , sapaku mencoba terkesan ramah dengan menampilan smiley eyes andalanku. Terlanjur, sudah kepalang tanggung. Biar basah, basah kuyup saja sekalian.
"Pagi juga.." jawabnya super ramah sambil mengacak-acak rambutku. "Gitu, baru keliatan kaya bener-bener baru bangun tidur... Berantakan.. Hahahaha..." tawanya usil sambil berlalu begitu saja melewatiku dan turun menuju ruang makan. Baguslah, karena dengan begitu, ia tidak akan melihat wajahku yang memerah tersipu malu.
Aku merapikan penampilanku sebelum beranjak keluar kamar. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Salah satu jam kedisiplinan papa. Jam sarapan pagi bersama. Wajib dilakukan terutama saat weekend atau hari libur. Karena, itulah harinya ketika semua anggota keluarga bisa memiliki kesamaan waktu luang, tanpa diburu-buru oleh kondisi jalanan Jakarta yang padat, dan jam waktu masuk kantor yang membelenggu.
Tidak perlu dipanggil lagi, kita sudah harus berada di ruang makan pukul 7 pagi. Aturan tidak tertulis dari paket jam disiplin papa. Aku tahu itu, tapi tetap saja. Walau semalam aku sudah bertekad bangun pagi agar sempat mandi dan cuci muka dulu sebelum sarapan, aku masih saja bangun kesiangan. Mungkin kecapekan karena acara kemarin yang repotnya ampun-ampunan sampai dini hari. Semoga kesan pertamaku dihadapan mantan taksiranku nanti tidak jelek-jelek amat. Hmm, kenapa itu malah yang menjadi concern utamaku pagi ini, sih?? Ayo, Riannn... Bangun...!!
Dan panjang umur, cewe yang dimaksud nongol di hadapanku. Wajahnya khas orang yang bangun tidur. Sama sepertiku, dia juga tampaknya belum mandi dan cuci muka. Tapi berbeda dariku, ia terlihat... errmm... manis? cantik? Entahlah, yang jelas, membuatku tidak tahan untuk tidak menggodanya. Kubalas sapaan selamat paginya, lalu mengacak-acak rambutnya.
Jika kalian menganggap itu bentuk pernyataan rasa sayangku padanya, tepat! Tidak sepenuhnya salah! Ya ampun, apa yang sudah kulakukan pagi-pagi begini?! Alih-alih bertingkah semakin aneh, lebih baik aku menjauh dari sumber pembuat salting ini sesegera mungkin. Dengan cepat aku turun menuju ruang makan. Yap, ini bukan mimpi. Mendapati anggota keluarga baruku sudah lengkap di meja makan. Yah, minus gadis manis barusan yang kutemui, yang masih ketinggalan di atas. Mantan taksiran sekaligus teman baikku sejak SMA, Maureen Nabilla Akbar.
Tak lama setelah Rian duduk di meja makan, Maureen tiba. Rambutnya sudah tidak lagi berantakan. Tapi, tidak juga tampak sangat rapi. Ketahuan, ia tadi hanya merapikan rambutnya seadaanya dengan jari tangannya.
"Pagi, Ma... Pagi, err... Pa..." ujar Maureen tampak agak ragu.
Papa hanya berdehem kecil dan menanggapi anak dari istri barunya itu dengan santai, "Tidak apa. Tidak usah dipaksakan. Panggil, om, seperti biasa juga ga masalah. Om, bukan tipe yang mengambil hati untuk urusan kecil seperti itu, kok..."
"Berarti aku tetep manggil tante, gapapa, dong?" tukas Rian. Tanggap dengan delikan tajam papanya, Rian buru-buru menjelaskan maksudnya, "Bukan maksudnya aku belum nerima tante jadi mama baruku, yah. Hanya saja, ini lebih ke belum biasanya aja. Manggil tante jadi mama."
"Iya, tante ngerti, kok. Tante, sih, bakal nyesuaiin aja panggilan kamu ke tante apa..."
Yup, perkenalkan pasangan yang baru menikah ini: Mamanya Maureen, Lidya Tjokro, dan papanya Rian, Thomas Surya Gunawirawan. Bagi yang mengira kalo yang pengantin baru itu si Maureen dan Rian, tanpa mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, Anda salah besar. Bagi yang sudah menebak ada yang janggal, selamat, kamu memang jeli. Saya harus hati-hati. Sebab, jangan-jangan kamu malah sudah bisa menebak ending cerita ini. Hmm...
"Tumben kamu agak manusiawi penampilannya..." sindir Mama ke Maureen, yang sukses mendapat lirikan tajam dari anak semata wayangnya itu.
"Lah, emang dia biasa kaya gimana tante?" tanya Rian penasaran.
"Kaya babi di peternakan... Kucel, jorok, awut-awutan..." pungkas mama yang kontan mendapat deheman kecil dari papa, guna menyembunyikan tawanya dibalik koran yang dibacanya.
"MAMA!!!" Hardik Maureen,"Jangan ngerusak image Maureen gitu, dong... Gak separah itu kaliii..."
"Ngapain juga jaim? Kamu mau selamanya jaim? Kita kan bakal hidup bareng seterusnya. Gak usah jaim-jaiman, lah..." jawab mama sekenanya, namun tepat sasaran.
"Nah, ini anak cowo satu ini juga, kadang pagi-pagi sarapannya telanjang dada... Kamu tenang saja Maureen..." Entah apa tujuan papa berkata demikian. Mempermalukan anaknya sendiri, atau demi mengurangi rasa malu anak tirinya.
"Yah, habis papa serem kalo jam 7 kitanya masih belum sampe di ruang makan. Mending ga pake kaos lagi, langsung tiba on time di ruang makan... 1 menit itu begitu bermakna, pa, kalo urusannya udah dengan jam kedisiplinannya papa!" jawab Rian membela diri.
Maureen sudah mengipas-ngipas wajahnya yang terasa menghangat dengan tangannya. Mukanya memerah membayangkan Rian tanpa baju dan duduk semeja sarapan dengannya.
Selanjutnya, acara sarapan mulai berjalan normal. Diselingi obrolan ringan, dan candaan singkat dari mama. Agak kontras memang. Mama yang ceria dengan segala guyonannya, dengan papa yang dingin dan tampak tegas, tenang, berwibawa. Kalau boleh milih suami, Maureen juga mau dengan yang tipe-tipenya kaya papa begitu. Maureen lantas melihat ke anak si papa, yahhh.... Seandainya ini cowo satu gayanya persis bapaknya... Hhhh...
Sebenarnya, bagi yang belum kenal dekat, bakal melihat sosok Rian itu yang ga gitu beda jauh dari image papanya. Pembawaannya sopan, tenang, tapi tegas. Kesannya serius dan agak tertutup. Bicaranya lugas, singkat, dan seperlunya saja. Dingin dan terkesan cuek sehingga sulit didekati. Tapi justru itu yang membuatnya misterius, dan bikin cewe-cewe di sekolah dulu, dan mungkin di kuliahan juga, kepincut padanya. Tak terkecuali Maureen.
Tapi setelah super dekat dengan makhluk satu ini,buyar sudah imajinasi Maureen. Rian rupanya seorang humoris yang kejayusannya ternyata menandingi ke-anti-klimaks-an-nya Maureen. Rian juga penggila bola. Kalo uda liad Manchester United tanding, langsung lupa semuanya. Egois, songong tingkat tinggi, narsis, (katanya) punya banyak koleksi bokep, gamers handal (katanya orangnya sendiri, yang sulit diyakini kebenarannya, mengingat pribadinya yang super narsis), dst, dsb, yang jelek-jelek khas cowo lainnya.
"Ya iyalah... Elo kalo mau cowo yang perawakannya macho, wangi, rapih, bersih, cakep, attitude and gesturenya se-perfect bayangan elo ituuu... Cari aja cowo GAY!" begitu pembelaan Rian waktu Maureen membeberkan pikirannya ke Rian saat SMA dulu.
"Gak, gue pasti bakal nemu yang oke kaya gitu! DAN BUKAN GAY!" jawab Maureen sok optimis.
"Kalo ada cowo yang kaya gambaran kamu, dan bukan gay, gue yakin 100%, He is a Martian..."
"Martian? What??"
"Makhluk planet Mars. Which means... Gak mungkin ada! Kecuali, elo nae roket, dan hijrah ke planet Mars."
"Tetep aja, pasti minimal ada sepersekian persen dari cowo di bumi ini yang begitu. Bakal gue cari sampe ke sudut-sudut terdalam sekalipun!"
"Hmph..." Rian mengeluarkan cengiran menyebalkannya, "Silahkan cari aja sampe mati. Cuma mo ingetin aja. Bumi itu bulat. Emang ada sudutnya??" ledek Rian.
"Pret!!" maki Maureen sejadi-jadinya.
Maureen dan Rian rebah di sofa panjang ruang keluarga. Keduanya tergeletak begitu saja, tergontai lemah kaya baju-baju kotor Rian yang dibiarin tergelak di mana-mana di dalam kamarnya. Keduanya baru saja mengantar kedua orangtua mereka ke airport, beserta seabrek bawaan mereka buat bulan madu ke Maldives dan Eropa.
Jangan heran. Keluarga Gunawirawan memang cukup berpunya. Ga heran kalo bulan madunya bisa semewah itu dan dalam jangka waktu yang lama pula. 3 minggu! Soal kerjaan? Bos besar kaya papa tinggal limpahin ke para bawahannya. Eits, jangan kira papa tipe orang yang lepas tanggung jawab yah. Laptop dengan skype yang selalu online, smartphone dengan teknologi super canggih, plus modem yang bisa menjadi hotspot wifi dengan provider mumpuni, semuanya standby selama mereka bulan madu! Maureen, sih, udah doa-doa harap cemas aja, semoga papanya Rian bisa bagi waktu kerja sama bulan madu, biar Mama ga ngamuk. Si Mama orangnya begitu, kalo ngamuk, sangar. Kaya beruang. Nyeremin tapi tetep imut.
"Hoi.. Ambilin minum, dong..." pinta Rian sambil menyodok-nyodok kaki Maureen dengan ujung jari kakinya. Keduanya masih dalam keadaan terkapar ga berdaya di sofa.
"Elu, deh... ambilin juga buat guee... Capeee guaaaa..." jawab Maureen malas sambil balas menendang Rian juga.
"Kok elu yang cape?? Kan gue yang ngangkat-ngangkat tas..."
"Itu kan cape fisik. Mana bisa dibandingin sama cape mentalnya gue. Gue yang nyetir. Diburu-buru ama mama yang panikan di jalan karena stuck macet. Tegang sama deheman papa loe yang takut telat. Eh iya, kok tiap papa lu berdehem begitu, gue langsung ciut gitu, ya? SELALU!" Maureen sempet salah fokus. "Terus, kan gue yang nge-handle kehisterisan mama yang ga tenang tinggalin kita berdua aja serumah dalam waktu yang lama..."
Kontan keduanya terdiam. Tadi memang rada hectic. Mereka tiba di airport mepet banget gara-gara macet entah apa penyebabnya. Wanti-wanti, wejangan, pidato panjang dari kedua orangtua mereka juga cuma masuk kepala seala-kadarnya saja. Nah, setelah dikilas balik begini, mereka baru ngeh.
Mereka, dua sejoli yang dulu pernah (tak jadi) menjalin cinta... Ceilah bahasanya. Kini, tinggal seatap. Selama 3 minggu ke depan.. Berdua saja pula!
"Errr... Ini ga lagi mimpi, kan?" Tiba-tiba saja Rian melemparkan pertanyaan retoris yang random abis.
"Coba..." Maureen dengan secepat kilat mencabut salah satu bulu kaki Rian yang lebat.
"AAAWWWW!!!!" lolongan Rian membahana mengisi seluruh penjuru rumah.
"Bukan mimpi artinya..." jawab Maureen santai sambil mengatupkan kedua matanya, tidur. Sementara itu, Rian memaki-maki kesal sambil mengelus-ngelus kencang betisnya yang perih akibat ulah Maureen.
---------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar